Remaja dan Internet

Rizki Washarti Siregar, BA, M.Psi - 2017-07-20 04:15:33
Rizki Washarti Siregar, BA, M.Psi
 

Apa saya harus membatasi  anak remaja saya bermain internet?”

“Kalau anak SMP saya ketemu orang di sosmed, lalu ikut aliran ekstrem bagaimana?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini, dalam kurun waktu terakhir kerap ditanyakan kepada saya.

Berawal dari banyaknya berita yang mengatakan tersangka pelaku tindakan terror di Indonesia dan juga berbagai negara lain, aktif menggunakan media sosial sebagai sarana merekrut anggota dan menyebarkan faham radikal mereka,  orangtua pantas khawatir apakah anak mereka juga akan ikut terjeremus dan memiliki pemikiran dan perilaku ekstrem. Di luar itu, banyak pula kasus di mana anak remaja menjadi korban bullying atau perundungan.

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Unesco di Quebec, Kanada dan menelaah  pengaruh internet dan media sosial dalam membentuk perilaku ekstrem dan radikal, terutama di kalangan anak muda.

Meski tidak dapat dipungkiri bahwa internet dan terutama media sosial memiliki andil dalam pembentukan perilaku maupun pemikiran orang – baik anak-anak, remaja  maupun orang dewasa, kesimpulan yang kami tarik bersama dalam konferensi tersebut adalah bahwa internet dan media sosial bukan merupakan faktor penyebab.

Internet dan media sosial adalah alat. Sama halnya dengan pisau yang juga merupakan alat. Jika ingin digunakan untuk melakukan hal-hal baik seperti untuk memasak, maka pisau adalah alat yang bermanfaat.  Namun jika digunakan untuk hal-hal negatif seperti melukai orang, jelas pisau adalah alat yang mengerikan.  Jika ada orang yang terkena sayatan pisau apakah itu salah pisaunya? Tentu bukan.  

”Ya tapi, pisau gak bisa ngomong, atau nulis. Nah ini kalau medsos, kita bisa interaksi, kita tulis sesuatu, ada yang bisa balas, ” mungkin Anda berpikir demikian. Benar sekali. Dan apa yang kita tulis atau kita baca tergantung dari apa yang kita sebagai individu inginkan.

Maka peran terpenting tetap ada pada individu yang bersangkutan. ”Jadi, semua tergantung anak remaja saya? ” Benar, tetapi patut diingat ada hal yang amat membedakan antara remaja dan dewasa.

Salah satu hal utama yang membedakan orang dewasa dengan remaja  – selain ciri-ciri fisik– adalah pemikirannya. Orang dewasa seyogyanya berpikiran lebih bijak dan dapat menggunakan logika dengan lebih baik. Secara umum, dapat dikatakan orang dewasa semestinya memiliki kepribadian yang lebih kokoh dan kuat. Hal inilah yang seharusnya membuat orang dewasa semestinya tidak mudah terpengaruh dan terprovokasi dibandingkan remaja.

Remaja, dikarenakan masih berkembang memang umumnya lebih labil. Dan memang tugas remaja –yang banyak tidak disadari oleh orangtua– adalah mencari jati diri.

”Saya ingin menjadi orang yang seperti apa? Baik hati, berakhlak baik, dermawan, kaya, atau yang sederhana tapi yang penting punya rumah atau...? ”

”Saya nanti ingin kerja apa kalau sudah selesai SMA atau kuliah? Mau jadi dokter, tapi kok rasanya gak akan sanggup ikutin kuliahnya. Sekarang aja saya malas belajar, nilai saya jelek, jadi apa dong….?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang kerap terpikirkan oleh remaja dan seharusnya menjelang akhir masa remaja akan dapat ia jawab.

Dan dalam masa pencarian jati diri inilah, jika remaja belum sepenuhnya memahami dirinya dia akan mudah terpengaruh.

Tidak menjadi soal jika terpengaruh oleh hal-hal baik. Tetapi tentu menjadi runyam jika terpengaruh hal buruk.

Maka, untuk menjawab pertanyaan apakah anak remaja perlu dibatasi bermain di media sosial, pertama perlu dilakukan langkah-langkah lain terlebih dahulu.

1). Kenali remaja Anda = Bagaimana karakternya? Apakah ia seorang yang ambisius dan sudah merancang masa depannya atau rasanya dia tidak tertarik berbicara mengenai masa depan dan sibuk “main “? Apakah ia mudah marah atau anak yang easy going, tidak terlalu peduli dengan pendapat orang…?

2). Ajak remaja Anda secara perlahan untuk berbincang-bincang mengenai minatnya, ketertarikannya, hobinya. Hal ini untuk mengetahui apa yang merupakan kegemarannya atau passion sehingga akan lebih mudah untuk menentukan apa yang ingin ia pelajari di bangku kuliah dan profesi apa yang ingin ia geluti.

3). Apakah anak remaja Anda memiliki pemahaman yang baik mengenai norma-norma sosial maupun agama dan juga menjalankannya? Jika tidak, Anda harus memberi pemahaman mengenai hal ini.

4). Seberapa banyak anak Anda bermain internet? Apakah setiap hari dan jika iya berapa lama? Jika ia menghabiskan lebih banyak bermain di media sosial ketimbang belajar, maka tentu aktivitasnya berselancar di media sosial perlu dibatasi. Namun jika ia menghabiskan banyak waktu berselancar di internet dan hal tersebut ia lakukan guna mengerjakan tugas dari sekolah, maka perbuatannya  tidaklah salah.

5). Apa saja yang ia lakukan ketika menggunakan internet? Situs-situs apa yang dia kunjungi, akun media sosial apa yang ia miliki, apa yang ia unggah dan unduh? Amat penting untuk memberi pemahaman kepada anak Anda konten-konten seperti apa yang boleh ia unggah dan unduh termasuk foto-foto dirinya. Berikan pemahaman bahwa foto-foto pribadi yang diunggah di dunia maya akan dapat dilihat oleh siapa saja, dan rentan sekali disalahgunakan. Beri penjelasan mengenai kasus-kasus yang sudah pernah terjadi  (seperti penculikan, foto-foto diedit dan beberapa contoh lain). Oleh karena itu, bijaklah dalam memilah foto dan juga tulisan apa yang kita unggah. Peraturan yang sama yang berlaku di dunia nyata: Jangan mencaci maki orang, jangan berkata kasar, jangan mengumbar aurat, semua berlaku di dunia maya. Sekali saja kita mengunggah sesuatu di internet, maka hal tersebut bisa berada di dunia maya selamanya.

Jika anak remaja Anda memang tampak berperilaku kurang pantas atau membaca atau melihat hal negatif di dunia maya, ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan. Hal ini akan kita bahas pada tulisan selanjutnya.

Salam,

Rizki Washarti Siregar, BA, M.Psi


 
Index Berita
 
 


© 2024 YPPI.All rights reserved. Design by ideweb,Developer